Ceritasilat IndoMandarin Beranda JW 03 Pendekar Bunga Matahari Pendekar Bunga Matahari Jilid 15 : Luhurnya Menunaikan Janji (Tamat) 3 min read Luhurnya Menunaikan Janji UDARA pagi mengusap wajah Jaka Wulung, membangunkannya dari tidur hanya beberapa jenak, menggugahkannya dari mimpi indah. Matahari menyapa lagi, membuka lembar kehidupan yang baru. CeritaSilat Pendekar Matahari - Gelandangan (01) Bab 01. Jago Pedang. Matahari Telah Lenyap, Daunpun Berguguran Terhembus Angin Dingin. Seseorang . Pendekar Matahari Adalah Cersil Proyek Keroyokkan Kedua Yang Dipelopori Oleh. Cita-cita Menulis Cerita Silat Yang Sangat Panjang Dapat Diwujudkan Dengan . Tak Seorang Pun PendekarBunga Matahari Jilid 13 : Hangatnya Cinta di Tengah Laga 6 min read Hangatnya Cinta di Tengah Laga MATAHARI makin rebah di balik rapatnya pepohonan hutan. Kehangatannya makin pudar disapu tiupan angin sore dari arah gunung. Namun, pertempuran di lahan kosong di tengah hutan itu makin memanas. Pendekarmatahari adalah cersil proyek keroyokkan kedua yang dipelopori oleh tabib gila. Source: tanpa bayangan by asmaraman s kho ping hoo. Tabib gila sendiri adalah seorang penulis cersil dalam dunia maya dan nyata yang telah menyelesaikan sebuah karya (terdiri dari tiga kisah) dan sedang menulis sebuah karya baru. Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd Nợ Xấu. Terjebak di Tanah Antah-berantah SEBUAH segitiga berujung tajam menancap dalam hingga melesak hampir separuhnya pada kulit sebatang pohon. Sebagian malah melesak ke batangnya. Batang pohon kiara itu tergolong keras. Jadi, bisa dibayangkan betapa kuatnya tenaga yang dilepaskan orang yang melontarkan senjata rahasia itu. Kalau saja Jaka Wulung tidak menubruk Ciang Hui Ling, gadis itu tentu akan menjadi mangsa yang empuk. Segitiga itu menancap di pohon dengan ketinggian sekitar pundak Jaka Wulung. Jadi, senjata itu mengarah ke leher Ciang Hui Ling, salah satu sasaran yang mematikan di tubuh manusia. Sekali menancap di leher seseorang, jalan napas akan langsung terputus. Jaka Wulung menarik segitiga berujung tajam itu dari kulit dan batang kiara. Dibutuhkan pengerahan tenaga yang cukup besar bagi sang pendekar belia untuk menarik segitiga maut itu. Senjata rahasia adalah sesuatu yang dibenci Jaka Wulung. Dia sudah merasakan “senjata rahasia” berupa pistol. Bahkan, luka di lengannya masih terasa sedikit ngilu. Menurut pemikiran sederhana Jaka Wulung, senjata rahasia adalah ciri orang pengecut. Apa pun jenisnya, sumpit, jarum, dan sebagainya. Mereka memanfaatkan kelengahan lawan. Mereka menghindari sikap kesatria untuk berhadapan langsung dalam pertempuran yang adil. Jaka Wulung mencoba menerka asal segitiga maut itu dari arah lemparannya. Tentu saja, dari arah selatan, dari sebuah gerumbul perdu yang rapat. Ada beberapa gerumbul di sekitar tempat itu. Juga pepohonan besar meskipun tumbuh tidak terlalu rapat. Namun, gerumbul yang satu itu diam tak bergerak. Dedaunannya seakan-akan merupakan patung belaka. Dan kediaman itu justru mencurigakan karena angin di sekitarnya berembus cukup kencang untuk menggoyang gerumbul-gerumbul yang lain. Ada orang di balik gerumbul itu, yang sengaja menahan rerantingnya supaya tidak menimbulkan gerakan sekecil apa pun pada daun-daunnya. Sungguh ilmu yang pantas dikagumi. Sekaligus sebuah kesalahan besar. Jaka Wulung menjentikkan jemarinya. Segitiga bersisi tajam itu pun meluncur mendesing mengarah ke gerumbul yang mencurigakan di depannya. Jaka Wulung sengaja melakukan serangan untuk mendahului kemungkinan serangan gelap dari orang di balik gerumbul itu. Menyerang adalah pertahanan terbaik. Dia juga sengaja mengarahkan segitiga maut itu agak ke bawah. Akan tetapi, sebelum segitiga itu mengenai sasarannya, seseorang di balik gerumbul itu sudah lebih dulu meloncat keluar, lalu melarikan diri dengan cepat ke selatan. Siapa pun orang itu, dia mampu menghindari jentikan segitiga maut, senjata yang tadi dia lemparkan sendiri, dari tangan Jaka Wulung. Jelas, bisa disimpulkan bahwa orang itu memiliki ilmu yang tidak bisa dianggap ringan. Siapa dia? Hanya pakaian putih dan ikat kepala hitam yang bisa dilihat dari belakang. Orang itu sudah melesat jauh dari gerumbul yang dia tinggalkan. Jaka Wulung menoleh memandang Ciang Hui Ling sejenak saja, sebelum meloncat dan melesat mengejar orang itu. Ciang Hui Ling tidak perlu berpikir lama untuk juga melenting dan mencoba mengikuti gerakan Jaka Wulung. Sambil berlari, Jaka Wulung berkata pelan, “Maaf, Lingling, kita tampaknya harus melupakan dulu urusanmu.” Ciang Hui Ling menoleh dan menjawab, “Ini juga urusanku, Jaka. Senjata itu mengarah kepadaku, lagi pula ....” Ciang Hui Ling menghentikan kata- katanya. Jaka Wulung menoleh. Menunggu kata-kata lanjutan gadis itu. “ Urusanmu urusanku juga.” Jaka Wulung tersenyum, “Ayo!” Pepohonan di sekitar tempat itu makin lama makin rapat, dan Jaka Wulung serta Ciang Hui Ling mesti berhati-hati mengejar orang itu. Jaka Wulung kemudian bahkan menyilakan Ciang Hui Ling berada sedikit di depan. Bagaimanapun, Ciang Hui Ling, yang sudah bertahun-tahun tumbuh di sepanjang Ci Liwung, jauh lebih mengenal tempat itu dibandingkan dengan Jaka Wulung, yang lebih banyak mengandalkan naluri. Di bawah didikan Tan Bo Huang, Ciang Hui Ling memang tumbuh menjadi anak yang tidak suka bermanja-manja di sekitar pondok. Dia kerap menelusuri sepanjang tepi Ci Liwung, baik ke arah hilir hingga muara maupun arah hulu hingga jauh ke dalam hutan. Tidak jarang, dia melakukannya sendirian, tanpa setahu Tan Bo Huang, yang kerap membuat sang guru itu kelimpungan karena cemas akan keselamatan murid sekaligus putri sahabatnya. Sebab, kadang Ciang Hui Ling terlampau meremehkan keadaan. “Awas, Lingling!” Sebuah benda logam tipis berkilat melesat mengarah menuju mereka. Benda itu berputar dengan cepat sehingga yang tampak adalah sebuah bundaran yang kabur. Ziiing! Orang yang mereka buru melepaskan senjata mautnya, segitiga logam bersisi tajam. Orang itu tampaknya merasa bahwa ilmu lari cepatnya masih kalah tatarannya dibandingkan dengan Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Karena itu, berbekal senjata mautnya berupa segitiga bersisi tajam, sang buruan berupaya supaya tidak tertangkap. Setidaknya, dia bisa menunda waktu sebelum muncul bantuan. Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling terpaksa menahan langkah untuk menghindari ancaman maut itu. Segitiga logam bersisi tajam itu lewat mendesing hanya sejengkal-dua jengkal dari wajah mereka. Jika sudah begitu, jarak antara Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling dengan buruan mereka menjadi renggang lagi. Beberapa kali orang itu melepaskan senjata mautnya sembari berlari tanpa menoleh ke belakang, dan tiap kali itu juga, senjatanya tetap mengincar titik berbahaya Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Jelas bahwa orang itu memiliki naluri yang sangat peka, yang hanya dimiliki orang yang sangat terlatih, dan hal itu memberinya waktu yang lapang untuk menyelamatkan diri. Beberapa kali pula, langkah lari cepat Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling harus tertahan. Dan hal itu, lama-kelamaan menjengkelkan Jaka Wulung. Dia pun bersiap mengambil napas untuk melipatgandakan tenaga lari cepatnya. Akan tetapi, pada saat itulah, si orang buruan mendadak berbelok secara tajam menjauh dari tebing sungai, mengarah ke timur, menuju kerimbunan hutan yang makin rapat. Siapa sebenarnya orang itu? Apa tujuannya menyerang dia dan Ciang Hui Ling? Jaka Wulung merasa tidak memiliki persoalan dengan orang-orang yang menggunakan senjata rahasia berupa segitiga logam bersisi tajam. Pada saat mereka tiba di Pelabuhan Kalapa, sempat terjadi kehebohan ketika seseorang tewas akibat senjata maut itu. Tapi, mereka tidak terlalu memedulikan peristiwa itu karena mereka berpikir bahwa kejadian itu tidak berkaitan dengan diri mereka. Lalu, mengapa kini yang menjadi sasaran adalah mereka sendiri? Dari kelompok atau perguruan manakah orang itu berasal? Jaka Wulung yakin bahwa orang itu tidaklah sendirian. Sangat mungkin bahwa orang itu hanya salah satu anggota kelompok besar dengan tujuan yang belum diketahui secara pasti. Apa yang dilakukan oleh orang itu tampaknya sudah direncanakan dengan matang. Dari kelompok apakah orang itu berasal? Dari perguruan manakah? Kalau benar bahwa dia berasal dari sebuah kelompok tertentu, apakah mereka juga yang melakukan pembakaran terhadap pondok Tan Bo Huang dan membawa pergi pendekar gagah berjulukan Naga Kuning dari Ci Liwung itu? Kalau benar bahwa mereka kelompok yang mampu membawa, apalagi membinasakan, Tan Bo Huang, tentu mereka adalah kelompok yang sangat kuat. Memiliki pemikiran yang seperti itu, Jaka Wulung menjadi berdebar- debar. Jika benar dugaannya, tentu dia dan Ciang Hui Ling sedang menuju sarang buaya yang sangat berbahaya. Oleh karena itu, Jaka Wulung makin berhati-hati dan waspada. Segera dia kerahkan kepekaan naluri dan pancaindranya hingga tataran yang tinggi untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka sudah makin jauh dari titik awal keberangkatan dari pondok Tan Bo Huang. Jauh ke selatan. Tidak hanya itu, mereka sudah jauh dari daerah tepi Sungai Ci Liwung. Jauh ke timur. Begitu jauhnya sehingga Ciang Hui Ling sendiri lama-kelamaan sadar bahwa dia belum pernah merambah daerah itu. Daerah yang baginya masih antah-berantah. Jalan yang mereka tempuh terus menanjak meskipun tidak terlalu curam kemiringan tanahnya. Perdu dan pepohonan makin rapat. Matahari yang mulai condong ke barat menimpa punggung mereka. Akan tetapi, bahkan sinar matahari pun lama-kelamaan tidak lagi terasa menyengat karena lebih banyak terhalang oleh batang dan dedaunan hutan. Makin lama, mereka pun makin terseret jauh ke dalam hutan lebat. Barangkali, inilah sebab mengapa sungai itu dinamakan Ci Liwung. Kata liwung, yang dilekatkan dengan kata luwang menjadi luwang-liwung, berarti hutan belantara. Mereka kini berada di hutan belantara. Bagi Jaka Wulung, hutan belantara bukanlah tempat yang asing. Semenjak kecil, dia terbiasa tersaruk-saruk di rimba, bahkan sampai tersasar di Bukit Baribis, bertemu dengan Ki Jayeng Segara dan murid-muridnya, dan yang kemudian mengubah jalan hidupnya ketika dia nyaris tewas karena jatuh ke jurang Ci Gunung, sebelum diselamatkan Resi Darmakusumah. Akan tetapi, Ciang Hui Ling, kendatipun bukan jenis anak penakut, belum terbiasa masuk terlalu jauh ke kedalaman hutan. Karena itu, kini Jaka Wulung-lah yang berada di depan. Kini, orang yang mereka buru bahkan sudah tidak kelihatan lagi. Jejak yang ditinggalkannya, baik berupa jejak kaki di tanah maupun reranting patah, nyaris tidak lagi bisa dikenali. Tahu-tahu, mereka sudah berada di sebuah tanah yang lapang, sebidang lahan selebar kira-kira tiga puluh langkah, berumput tebal dan dikelilingi pepohonan hutan yang rapat. “Jaka, tampaknya kita terjebak.” “Ya, berhati-hatilah, Lingling.” Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling berdiri beradu punggung, memandang sekitar dengan tatapan setajam mata elang. Selain bebunyian dedaunan dan angin lemah, tidak terdengar suara lain. Nyaris sunyi. Sunyi yang mencengkeram jantung. Sungguh aneh, hutan itu sama sekali tidak memperdengarkan bunyi binatang apa pun. Seakan-akan binatang pun enggan menyambut kedatangan mereka. Hening. Hening yang menjebak. Tiba-tiba di keheningan itu mendesing sesuatu, dari arah Ciang Hui Ling menghadap. Dengan cepat, Ciang Hui Ling menghunus pedangnya untuk menangkis benda yang meluncur ke arahnya. Secara naluriah, dia tidak ingin menghindar karena itu berarti akan menyebabkan sesuatu itu akan meluncur dan mungkin saja mengenai Jaka Wulung yang berada di belakangnya. Terdengar suara denting yang keras disertai letikan bunga-bunga api ketika pedang Ciang Hui Ling berbenturan dengan benda itu. Ciang Hui Ling merasakan genggaman tangannya bergetar ketika terjadi benturan. Benda itu memantul dan jatuh sekitar lima langkah dari Ciang Hui Ling. Sebatang tombak pendek dan tipis terbuat dari baja! “Bagus, Lingling,” bisik Jaka Wulung. Hening lagi. Tapi, hanya beberapa jenak. Dari arah Jaka Wulung menghadap, melesat sebuah benda yang berkilau keperakan. Jaka Wulung memiliki pikiran yang sama, yakni dia tidak berniat menghindar karena benda itu tentu akan mengarah kepada Ciang Hui Ling di belakangnya. Karena itu, dengan cepat, dia menarik senjatanya, kudi hyang, yang sangat jarang dia gunakan, kecuali pada saat- saat sangat terdesak—sebuah benda pusaka yang secara ajaib dia terima dari leluhur yang paling dihormati bangsa Sunda, Prabu Niskala Wastukancana. Terdengar dentang yang lebih keras dan bunga api yang lebih menyilaukan, meskipun saat itu siang masih benderang, ketika kudi hyang Jaka Wulung berbenturan dengan benda berkilau keperakan itu. Benda itu memantul, berbalik arah dan melesat ke arah semula. Sebilah pedang pendek, pikir Jaka Wulung. Terdengar suara gemeresik di balik gerumbul, beberapa puluh langkah di depan Jaka Wulung. Tapi, tidak terdengar pekik atau teriak kesakitan. Si pelempar pedang itu tentu berhasil menghindari serangan balik yang dilakukan Jaka Wulung. Hening lagi. Tapi, udara seakan-akan bergetar oleh tegangan yang ditimbulkan oleh kesunyian. Pedang ramping Ciang Hui Ling teracung di depan dadanya. Tangan kirinya mengepal. Kudi hyang melintang di depan dada Jaka Wulung. Telapak tangan kirinya lurus dengan jemari yang rapat. Pada saat yang bersamaan, meluncur empat macam benda dari empat arah yang berbeda. Masing-masing dari arah depan Jaka Wulung, dari arah kanan dia, dari arah depan Ciang Hui Ling, dan dari arah kanan gadis itu. Pada saat yang sama pula, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling menggerakkan senjata mereka menyambut masing-masing dua benda yang melesat ke arah mereka. Terdengar empat kali suara denting dan empat semburan bunga api ketika senjata mereka berbenturan dengan empat senjata yang dilepaskan dari empat penjuru. Dua senjata memantul oleh pedang Ciang Hui Ling, sama-sama terlontar ke udara, lalu hampir berbarengan jatuh bergeletakan sekitar dua langkah di depannya. Sebilah golok dan pedang pendek. Dua senjata lainnya terpental oleh entakan kuat kudi hyang Jaka Wulung. Sebatang trisula, senjata berujung tiga, melenting jauh dan menembus segerumbul perdu. Sebatang tombak pendek patah nyaris di titik tengah, bagian pangkalnya jatuh di tanah, tapi bagian ujungnya melesat kembali mengarah ke asal datangnya benda itu, menembus kedalaman hutan, tanpa suara. Hening lagi di tempat itu. Bayang-bayang perdu makin memanjang di bagian timur. “Hati-hati, Lingling, ini baru pemanasan,” bisik Jaka Wulung. “Ya,” Ciang Hui Ling mengangguk. Ketegangan merambat di udara. Dari kening Ciang Hui Ling, menetes sebutir air bening. Keringat yang hangat. “Bersiaplah,” bisik Jaka Wulung lagi.[] Tarian Sepasang Pendekar DARI delapan penjuru mata angin berlesatan berbagai macam senjata. Semuanya melesat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa. Semuanya memiliki ujung yang tajam mengarah kepada titik-titik rawan di tubuh Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Semuanya sudah diarahkan dengan perhitungan yang terencana. Tidak hanya delapan ternyata. Sebab, dari tiap arah mata angin melesat tidak hanya satu senjata, tetapi dua, tiga, empat, lima .... Semuanya meluncur berturutan tanpa jeda dalam sekian kejap. Bunyinya mendesing-desing menyibak udara. Setiap desing menebarkan ancaman yang mematikan. Untunglah, baik Jaka Wulung maupun Ciang Hui Ling sudah bersiap menghadapi kemungkinan seperti ini. Jaka Wulung tidak mau menghadapi risiko sekecil apa pun, misalnya salah satu senjata yang datang beruntun itu lolos dari tangkisannya dan mengenai Ciang Hui Ling. Dia pun berharap Ciang Hui Ling mampu juga menepis semua senjata yang mengarah kepada dirinya. Jaka Wulung langsung menerapkan ilmunya sampai taraf yang tinggi. Sejak tadi, dia sudah mengatur napasnya sedemikian rupa sehingga dari tenggorokannya tak tertahankan lagi mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman. Seperti suara harimau Lodaya .... Grrrhhh! Bersamaan dengan itu, kudi hyang di tangannya bergerak dengan kecepatan sulit diukur, serta tenaga yang di luar kewajaran manusia, menangkis satu per satu senjata mana pun yang mengarah kepada dirinya. Yang terlihat hanyalah ujung kudi hyang yang meliuk-liuk menciptakan garis cahaya yang tampak tidak beraturan. Tang! Ting! Trak! Bunga-bunga api bepercikan ke segala arah. Senjata-senjata itu pun seperti membentur perisai tidak kasatmata, sebagian beterbangan kembali ke arah datangnya semula, sebagian lagi melenting setelah patah di bagian tengah dan jatuh lima-enam langkah di sekeliling Jaka Wulung. Pada saat yang sama, seraya menggerakkan tubuhnya mengikuti setiap senjata yang mengarah kepada dirinya, Ciang Hui Ling memutar pedangnya, membentuk lingkaran yang makin lama makin besar dengan kecepatan yang sulit diikuti mata. Demikian cepatnya putaran pedang itu sehingga tampak seperti payung terbuka, dengan suara yang mendesing- desing, diselingi bunyi benturan yang berdenting-denting, dan dihiasi bunga-bunga api yang bisa membuat mata terpicing-picing. Di bawah berkas-berkas sinar matahari yang makin membias, putaran pedang itu memberikan warna yang indah sekali, sekaligus mengerikan. Jurus Tarian Payung Bunga Matahari. Sebuah keindahan jurus silat sekaligus ketangguhan yang sulit dicari tandingannya. Tidak satu pun senjata yang dilepaskan dari segala arah itu menembus lingkaran payung bunga matahari. Golok, pedang pendek, anak panah, bahkan tombak, seakan-akan membentur sebuah dinding baja. Semua terpantul, melenting, atau terlontar balik untuk kemudian bergeletakan menjadi benda mati belaka. Beberapa kejapan hujan senjata itu memberondong Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling dari segenap penjuru hutan. Beberapa kejapan itu pula, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling melakukan gerak tingkat tinggi yang sangat selaras sehingga sekilas lintas tampak seperti gerak yang biasa ditampilkan para penari mahir. Tentu saja, gerak ilmu silat dan tarian memang seperti dua wajah dalam permukaan keping uang yang sama. Beberapa kejapan, sepasang pendekar belia itu memperlihatkan tarian yang elok tersebut sebelum kemudian berhenti, karena tidak ada lagi senjata yang melesat ke arah mereka. Senjata-senjata berserakan seperti mayat-mayat di Kurusetra. Udara lengang. Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling berdiri tegak dengan kaki-kaki selebar pundak, dan senjata-senjata tetap tercengkeram dalam genggaman. Keduanya menunggu, kejutan apa lagi yang akan mereka hadapi. Angin seperti mati dan langit yang mulai kelabu menebarkan tabir sunyi. Akan tetapi, kesunyian itu segera pecah oleh gelombang tawa yang melanda dari empat arah mata angin. Gelombang tawa itu susul-menyusul disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat kuat. Apa yang terdengar oleh indra telinga memang hanyalah suara tawa biasa. Tapi, yang tertangkap oleh indra perasa adalah bunyi dentuman yang menghantam- hantam, seperti palu godam. Hantaman yang bergelombang itu meresap jauh hingga ke dalam tubuh, masuk ke simpul-simpul saraf, mengikuti aliran di pembuluh darah, meliuk-liuk lalu merajam-rajam selaput jantung. Orang biasa yang mendengar tawa seperti itu tidak akan mampu bertahan lama karena jantung mereka akan berdenyut cepat, sangat cepat, di luar sadar mereka, lalu riwayat mereka akan segera berhenti dengan darah yang tertumpah dari mulut mereka. Mereka akan tewas tanpa menyadari apa sebenarnya yang terjadi. Akan tetapi, dua orang yang berdiri di tengah lahan kosong di tengah hutan itu adalah Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling, dua pendekar belia yang sudah memiliki bekal ilmu yang cukup untuk mengarungi dunia kejam persilatan. Jaka Wulung tidak percuma mendapat julukan Titisan Bujangga Manik. Dia sadar bahwa gelombang tawa yang dilepaskan dua atau tiga orang sekaligus itu bukanlah tawa sewajarnya. Karena itu, sejak awal dia segera membangun pertahanan di segala simpul saraf dan pembuluh darah yang pasti akan mendapat serangan gelombang tawa. Serangan gelombang tawa itu seakan-akan pecah seperti gelombang laut yang pecah dibelah karang. Pecah berkeping-keping menjadi gelombang yang lemah, lalu lenyap, seolah-olah butir air yang sirna diserap pasir gurun. Akan tetapi, mendadak Jaka Wulung merasakan satu gelombang lain yang menebar dari belakangnya, menembus bajunya dan meraba permukaan kulit punggungnya. Gelombang pengerahan tenaga untuk melawan gelombang tawa. Ciang Hui Ling menghadapi saat-saat genting ketika upayanya untuk menahan gelombang tawa nyaris tiba pada titik kekalahan. Tubuhnya bergetar nyaris tidak terkendalikan. Jaka Wulung tersadar bahwa ketika mengetahui serangan gelombang tawa itu tidak mampu melumpuhkannya, dua atau tiga penyerang itu mengarahkan serangannya lebih terpusat kepada Ciang Hui Ling. Sekian gelombang tawa bersatu menjadi satu, saling menguatkan, menimbulkan serangan gelombang yang sangat mematikan! Tanpa bersentuhan pun, Jaka Wulung merasakan betapa tubuh Ciang Hui Ling bergetar makin lama makin hebat. “Bertahanlah, Lingling,” bisik Jaka Wulung. Tanpa membalikkan badannya, Jaka Wulung mendekati Ciang Hui Ling, menempelkan punggungnya ke punggung gadis itu. Rapat. Terasa punggung Ciang Hui Ling basah oleh keringat. Jaka Wulung lekas memusatkan tenaga dalamnya, menyalurkannya keluar dari titik-titik simpul saraf di punggungnya, menembus pakaian keduanya, lalu meresap masuk ke tubuh Ciang Hui Ling melalui titik-titik simpul saraf di punggung gadis itu. Ciang Hui Ling segera merasakan hawa yang sejuk, tapi memiliki kekuatan yang dahsyat untuk melawan gelombang tawa yang nyaris mencabik-cabik jantungnya. Terjadi pertempuran tak kasatmata yang dahsyat antara gelombang tawa yang kekuatannya berlipat dengan tenaga bantuan Jaka Wulung ke tubuh Ciang Hui Ling. Perlahan-lahan, denyut jantung Ciang Hui Ling mereda menuju bilangan yang sewajarnya. Detik demi detik pula gelombang tawa dari lawannya melemah, seakan-akan membentur lapisan dinding peredam suara. Kini, Ciang Hui Ling sudah bisa kembali bernapas seperti biasa. Sejalan dengan itulah, gelombang suara tawa itu pun perlahan-lahan mereda, lalu lenyap, menyisakan udara yang kembali dilapisi sunyi. Kesunyian yang tetap mencekam. Dalam hitungan tidak sampai delapan, dari arah timur, tepatnya dari arah sebelah kiri Jaka Wulung, muncul tiga orang lelaki. Secara bersamaan, Jaka Wulung memutar tubuhnya ke kiri, sedangkan Ciang Hui Ling memutar tubuh ke kanan. Keduanya kini sama-sama menghadapi kemunculan tiga lelaki itu dan bersiap menghadapi kemungkinan baru. Akan tetapi, ketiga orang itu berjalan tegak dengan langkah yang biasa- biasa saja. Pelan dan penuh dengan rasa percaya diri. Pedang panjang menggantung di pinggang masing-masing. Salah seorang dari mereka, yang kelihatan paling tua dan menjadi pemimpin di antara mereka, melangkah paling depan. Dua yang lainnya mengapit di kiri dan kanan, agak ke belakang, seperti dua pengawal seorang pangeran. Ketiganya sama-sama memiliki tubuh tinggi tegap, dengan wajah-wajah yang mirip satu sama lain, dengan kumis yang sama-sama tebal menghias wajah tampan mereka, disertai tatapan tajam kepada Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Tampan tapi menyeramkan. Busana yang mereka kenakan terbuat dari bahan kain yang bermutu tinggi meskipun warna birunya sudah memucat. Begitu pula dengan corak ikat kepala mereka. Dari situ pun sudah jelas bahwa ketiga lelaki itu adalah lelaki bangsawan, boleh jadi keturunan keraton. Lima langkah di hadapan Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling, ketiga orang itu berhenti. Lelaki yang paling tua, berusia sekitar empat puluh tahun, memandang Jaka Wulung dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu memandang Ciang Hui Ling beberapa kilas dengan kening berkerut. Lelaki itu kembali menatap tajam Jaka Wulung. Jaka Wulung balas menatap lelaki itu. Lelaki itu mengejapkan mata sebelum berdeham. “Hmmm ..., inikah bocah yang mengaku dirinya Titisan Bujangga Manik?” Suaranya terdengar bergetar, seperti keluar dari tabung yang bocor. Mungkin ada masalah pada pita suaranya. Jaka Wulung masih menatap lelaki itu tanpa berkedip. Lalu, katanya dengan suara yang hampir berbisik, “Apakah aku mengenal Ki Dulur?” Lelaki itu menggeretakkan giginya. “Kau sungguh sombong, Bocah.” Kali ini, Jaka Wulung-lah yang mengerenyitkan dahinya. “Maaf, Ki Dulur, rasanya ini bukan persoalan sombong atau tidak. Seperti yang mungkin Ki Dulur lihat, aku hanyalah seorang bocah, belum banyak mengenal dunia, belum bisa memilah mana sikap sombong dan mana sikap yang rendah hati.” “Oho, kau juga pandai bersilat lidah.” “Tentu saja, Ki Dulur. Bukankah lidahku tidak bertulang?” Jaka Wulung merasa sudah kepalang tanggung. Lelaki itu menggeretakkan giginya lagi. Kali ini lebih keras sehingga berbunyi seperti ranting patah. “Kau membuatku marah, Bocah,” ucapnya, dengan suara yang tambah bergetar. Jaka Wulung tertawa pelan. “Aneh,” katanya kemudian. “Mestinya akulah yang marah, Ki Dulur. Ada urusan apakah antara kami berdua dan kelompok Ki Dulur sehingga kami dijebak sampai di sini?” Lelaki itu tertawa. Suaranya sumbang. Dan dari suara tawanya itu, Jaka Wulung menduga kuat bahwa gelombang tawa yang menyerangnya tadi bukanlah berasal dari lelaki di hadapannya. Siapa ketiga lelaki ini? Dan siapa orang-orang yang berada di belakang mereka yang masih bersembunyi di kedalaman hutan di sekitar tempat itu? Apakah guru mereka? Jaka Wulung makin meningkatkan kewaspadaan. “Bocah, kau sadar bahwa kalian sudah terjebak. Tak ada jalan keluar bagi kalian dari tempat ini, sehebat apa pun ilmu kalian.” Lelaki itu berhenti sebentar. Lalu katanya, “Hanya satu cara supaya kami berbaik hati memberi jalan bagi kalian untuk pergi dengan selamat.” Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Menunggu kata-kata selanjutnya dari bibir lelaki itu. “Berikan kantongmu.” Kata-kata lelaki itu pastilah jelas terdengar oleh siapa pun yang berada di sekitar lahan kosong di tengah hutan itu, termasuk oleh orang biasa yang tidak punya kemampuan lebih. Namun, Jaka Wulung, pendekar belia yang daya tangkap telinganya jauh melebihi manusia kebanyakan, justru tidak sepenuhnya percaya bahwa dua kata itulah yang memang benar-benar diucapkan lelaki itu. “Apa kata Ki Dulur?” tanya Jaka Wulung. Lelaki itu kelihatan tidak bisa menahan dirinya. “Kukira kata-kataku sangat jelas, Bocah.” “Hmmm ...,” Jaka Wulung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Rupanya, Ki Dulur sekalian ini perampok yang keliru memilih sasaran.” “Jangan banyak bacot, Bocah. Kami bukan perampok. Cepat serahkan kantongmu.” “Oh, kata-kata Ki Dulur tambah kasar saja. Rupanya begitulah kata-kata khas para perampok, begal, dan sebagainya.” “Persetan dengan kata-katamu,” kata lelaki itu seraya mencengkeram gagang pedangnya. “Jangan sampai kami berbuat kasar kepada kalian!” Jaka Wulung mengerutkan kening, lalu kembali menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa. Dia menoleh kepada Ciang Hui Ling. “Selain terjebak di tempat antah-berantah, Lingling, kita juga terjebak dalam penalaran yang aneh. Bukankah kita sudah sejak tadi diperlakukan secara kasar?” “Para perampok selalu punya penalaran sendiri,” sahut Ciang Hui Ling. “Ya, penalaran para perampok.” “Diaaam!” Lelaki itu menarik pedang dari pinggangnya, lalu mengacungkan ujungnya lurus ke wajah Jaka Wulung. “Cepat lemparkan kantongmu!” Jaka Wulung masih berdiri bingung. Di luar sadarnya, dirabanya kantong kainnya di pinggang. Apa yang membuat kantongnya menarik perhatian orang-orang itu? Mengapa demi kantong itu, dia sampai digiring hingga jauh dari masyarakat ramai, dan dijebak hingga di dalam hutan? Kantong kain kecil itu hanyalah berisi sepasang baju dan celana pengganti, beberapa keping uang yang tidak seberapa, pisau pangot, beberapa lempir daun lontar .... Jaka Wulung mulai bisa meraba apa yang mereka incar. “Cepat lemparkan!” Pendekar belia itu mengerutkan keningnya. “Maaf, Ki Dulur, tak ada barang berharga dalam kantongku ini. Aku hanya membawa beberapa keping uang ” “Kami tidak butuh uangmu. Kami ingin kitab yang kau bawa!” Kata-kata lelaki itu membenarkan dugaan samar yang sempat terlintas di kepala Jaka Wulung. Namun, Jaka Wulung pura-pura terkejut dengan mulut ternganga. “Kitab?” Tangannya mengusap-usap kain kantongnya. “Kitab apa?” “Sudahlah, tidak perlu berkelit.” “Aku cuma bertanya, kitab apa? Lagi pula, bagaimana Ki Dulur menyimpulkan bahwa aku membawa kitab yang Ki Dulur inginkan dalam kantong ini?” “Kalau kau mengaku Titisan Bujangga Manik, kalau kau benar-benar murid Resi Bujangga Manik, atau setidaknya murid Resi Darmakusumah, kau tentu tahu di mana keberadaan kitab-kitab yang pernah dicuri dari Keraton Pajajaran, terutama Kitab Siliwangi.” Tiba-tiba, ingatan Jaka Wulung melayang pada cerita Resi Darmakusumah, gurunya, mengenai pengalamannya tatkala menyelamatkan tiga kitab yang tersisa dari puluhan kitab pusaka Kerajaan Sunda, ketika Keraton Pakuan Pajajaran dibumihanguskan oleh pasukan Banten. Ketiga kitab itu adalah Patikrama Galunggung, yang ditulis oleh Prabu Darmasiksa, naskah Bujangga Manik, karya eyang gurunya, Resi Jaya Pakuan alias Resi Bujangga Manik, dan satu lagi kitab tanpa judul, yang oleh kalangan keraton disebut Kitab Siliwangi, yang konon ditulis oleh Prabu Siliwangi sendiri. Ketika baru saja menyelamatkan tiga kitab itulah, Resi Darmakusumah dicegat oleh sekelompok orang yang juga mengincar kitab-kitab itu. “Ah, Ki Dulur pastilah Munding Wesi bersaudara,” kata Jaka Wulung. [] Bagaimana sih sejarah kitab bunga matahari itu? Kitab Bunga Matahari sunflower manual adalah salah satu ilmu paling kuat dalam cerita Pendekar Hina Kelana smiling proud wanderer / the swordsman. Kitab ini merupakan kitab ilmu yang diperebutkan oleh dunia persilatan. Biarpun kuat, ternyata ilmu ini memiliki persyaratan yang berat, dimana yang ingin mempelajarinya harus melakukan Pedang Penakluk iblis milik keluarga Lin diciptakan berdasarkan intisari daripada ilmu kitab bunga matahari, dan juga menggunakan pedang sebagai media. Jubah biksu yang tertulis ilmu pedang penakluk iblis ini nantinya dihancurkan oleh Lin Pingzhi setelah dia mempelajarinya, jadi boleh dibilang ilmu dan rekam tulisan cara mempelajari ilmu ini menghilang dari dunia persilatan. Sekte Qingcheng sempat berusaha mempelajari gerakan ilmu luar pedang penakluk iblis ini, karena tidak mengetahui rahasianya, sehingga terkesan tidak hebat. kitab bunga matahari Wuxia Indonesia Indonesian Youth. Pengagum bela diri Indonesia seperti Pencak Silat. All About Cerita Silat; mulai dari Ulasan Sinopsis Serial Drama China Wuxia, Review Film Silat Mandarin, Diskusi Novel cersil, Game, movie, komik Jin Yong, Gu Long, dll. KARYA BATARA 1. Kisah Seekor Naga 1-22 2. Pendekar Gurun Neraka 1-20 3. Pendekar Kepala Batu 1-36 4. Pedang Medali Naga 1-35 5. Pendekar Rambut Emas 1-27 lanjutan Pedang Medali Naga 6. Pedang Tiga Dimensi 1-18 Lanjutan Pendekar Rambut Emas 7. Sepasang Cermin Naga 1-16 8. Istana Hantu 1-35 9. Rajawali Merah 1-28 10. Dewi Penjaring Cinta 1-24 11. Golok Maut 1-28 12. Naga Pembunuh 1-32 lanjutan Golok Maut 13. Tapak Tangan Hantu 1-36 14. Rahasia Genta Berdarah 1-24 15. Putri Es 1-37 16. Kisah Empat Pendekar 1,2,3 1-60 17. Dewi Kelabang Hitam 1-27 18. Playboy dari Nan King 1-28 19. Playgirl dari Pak King 1-32 20. Prahara di Gurun Gobi 1-32 21. Kabut di Telaga See Ouw 1-33 22. Mencari Busur Kumala 1-24 23. Naga Merah 1-

cerita silat mandarin pendekar matahari